Senin, 01 Oktober 2012

HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 38


BAB III
PARAMETER
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
3.1. KENDARAAN RENCANA
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi (termasuk radius
putarnya) dipilih sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan raya.
Pengelompokan jenis kendaraan rencana yang relevan dengan penggunaannya,
dibedakan menurut sumber & implementasinya sebagai berikut:
a. Geometrik Jalan Antar Kota
Pengelompokan kendaraan rencana untuk perencanaan geometrik jalan antar
kota adalah sebagai berikut:
♦ Kendaraan kecil : mobil penumpang
♦ Kendaraan sedang : truk 2 as tandem, bus 2 as
♦ Kendaraan besar : truk semi trailler
Sedangkan dimensi masing-masing jenis kendaraan rencana tersebut,
dijelaskan pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Antar Kota
DIMENSI KENDARAAN
(cm)
TONJOLAN
(cm)
RADIUS PUTAR
(cm)
KATEGORI
KENDARAAN
RENCANA
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Maks. Min.
RADIUS
TONJOLAN
(cm)
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 39
b. Geometrik Jalan Perkotaan
Pengelompokan kendaraan rencana untuk perencanaan geometrik jalan
perkotaan adalah sebagai berikut:
♦ Kendaraan kecil : mobil penumpang
♦ Kendaraan sedang : unit tunggal truk/bus
♦ Kendaraan besar : truk semi trailler
Sedangkan dimensi masing-masing jenis kendaraan rencana tersebut,
dijelaskan pada tabel 3.2.
Tabel 3.2 Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Perkotaan (meter)
JENIS
KENDARAAN
PANJANG TOTAL
LEBAR TOTAL
TINGGI
DEPAN
TERGANTUNG
JARAK GANDAR
BELAKANG
TERGANTUNG
RADIUS PUTAR
MIN
Kendaraan
penumpang 4.7 1.7 2.0 0.8 2.7 1.2 6
Truk/Bus
tanpa
gandengan
12.0 2.5 4.5 1.5 6.5 4.0 12
Kombinasi 16.5 2.5 4.0 1.3
4.0
(depan)
9.0
(belakang)
2.2 1.2
Sumber: Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
c. Pengelompokan Jenis Kendaraan Menurut Karakteristik Kendaraan
Berdasar jenis kendaraan yang dilayani jalan raya, Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1993 mengelompokan jenis kendaraan dengan sistem
kelas kendaraan sebagai berikut:
♦ Kendaraan kelas I, yaitu kendaraan berukuran lebar ≤ 2.50 meter,
panjang ≤ 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) > 10 ton.
♦ Kendaraan kelas II, yaitu kendaraan berukuran lebar ≤ 2.50 meter,
panjang ≤ 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) ≤ 10 ton.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 40
♦ Kendaraan kelas IIIA, yaitu kendaraan berukuran lebar ≤ 2.50 meter,
panjang ≤ 18 meter dan muatan sumbu terberat (MST) ≤ 8 ton.
♦ Kendaraan kelas IIIB, yaitu kendaraan berukuran lebar ≤ 2.50 meter,
panjang ≤ 12 meter dan muatan sumbu terberat (MST) ≤ 8 ton.
♦ Kendaraan kelas IIIC, yaitu kendaraan berukuran lebar ≤ 2.10 meter,
panjang ≤ 9 meter dan muatan sumbu terberat (MST) ≤ 8 ton.
d. Pengelompokan Jenis Kendaraan Menurut Indonesian Highway Capacity
Manual (IHCM) 1997,
Berkaitan dengan tingkat pelayanan jalan (ruas jalan, simpang dan
bundaran), IHCM 1997 mengelompokan jenis kendaraan sebagai berikut:
♦ Kendaraan ringan (light vehicle : LV)
♦ Kendaraan berat (heavy vehicle : HV)
♦ Sepeda motor (motor cycle : MC)
3.2. LALU LINTAS
a. Ekivalen Mobil Penumpang (emp)
Ekivalen mobil penumpang adalah angka satuan kendaraan dalam hal
kapasitas jalan, dimana mobil penumpang ditetapkan sebagai acuan yang
memiliki nilai 1 (satu) smp. Nilai emp untuk kendaraan rencana pada jalan
antar kota diberikan pada tabel 3.3.
Tabel 3.3 Nilai EMP Kendaraan Rencana Untuk Geometrik Jalan Antar Kota
No Jenis Kendaraan Medan Datar/
Perbukitan Pegunungan
1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1.0 1.0
2 Pick-up, Bus kecil, Truk kecil 1.2 – 2.4 1.9 – 3.5
3 Bus dan Truk besar 1.2 – 5.0 2.2 – 6.0
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
Sedangkan nilai emp kendaraan rencana untuk geometrik jalan perkotaan,
menurut Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992) adalah
sebagai berikut:
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 41
♦ Sepeda motor : 0.5
♦ Kend. Penumpang/kend. bermotor roda tiga : 1.0
♦ Truk kecil (berat < 5 ton), bus mikro : 2.5
♦ Truk sedang (berat > 5 ton) : 2.5
♦ Bus, Truk berat ( berat < 10 ton) : 3.0
Nilai emp kendaraan rencana tersebut merupakan representasi untuk medan
datar, sedangkan untuk medan perbukitan dan pegunungan dapat diperoleh
dengan ‘memperbesar’ faktor koefisien dari medan datar tersebut.
Indonesian Highway Capacity Manual (1997) – manual untuk kajian
pelayanan lalu lintas jalan, memberi nilai emp secara lebih detail. Nilai emp
ditentukan menurut pokok bahasannya, yang meliputi: simpang tak bersinyal,
simpang bersinyal (disesuaikan dengan aspek pendekat), bagian jalinan, jalan
perkotaan (jalan arteri - disesuaikan menurut tipe jalan dan volume arus lalu
lintasnya), jalan antar kota (disesuaikan menurut tipe jalannya) dan jalan
bebas hambatan.
b. Volume Arus Lalu Lintas
Sebagai pertimbangan untuk menetapkan jumlah lajur beserta fasilitas lalu
lintasnya, maka diperlukan estimasi arus lalu lintas yang dilayani.
Perencanaan geometrik jalan antar kota, volume arus lalu lintas harian rencana
(VLHR) adalah prakiraan volume arus lalu lintas harian pada akhir tahun
rencana lalu lintas, dinyatakan dalam satuan smp/hari. Sedangkan volume arus
lalu lintas jam rencana (VJR) adalah prakiraan volume arus lalu lintas pada
jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam satuan smp/jam, yang
diestimasikan dengan formulasi sebagai berikut:
F
K
VJR = VLHR x
Dimana, K : faktor volume arus lalu lintas jam sibuk
F : faktor variasi tingkat lalu lintas per-15’ dalam satu jam
Adapun nilai faktor K dan faktor F dikemukakan pada tabel 3.4.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 42
Tabel 3.4 Nilai Faktor K dan Faktor F berdasarkan VLHR
VLHR (smp/hari) Faktor K (%) Faktor F (%)
> 50.000 4 - 6 0.9 – 1
30.000 - 50.000 6 - 8 0.8 – 1
10.000 - 30.000 6 - 8 0.8 – 1
5.000 - 10.000 8 - 10 0.6 - 0.8
1.000 - 5.000 10 - 12 0.6 - 0.8
< 1.000 12 - 16 < 0.6
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
Untuk perencanaan geometrik jalan perkotaan, volume arus lalu lintas
rencana (daily traffic volume - DTV) merupakan volume harian lalu lintas
total kedua arah. Pada kondisi lain, dimana elemen perencanaan geometrik
jalan bergantung terhadap volume arus lalu lintas pada jam puncak, yang
dinyatakan dalam volume per-jam perencanaan (design hour volume -
DHV), maka dalam Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan
(1992) menurut dengan jumlah lajurnya, diformulasikan sebagai berikut:
Jalan 2 lajur,
100
K
DHV = DTV x
Jalan berlajur banyak,
100
D
x
100
K
DHV = DTV x
Dimana,
DHV : volume arus lalu lintas perjan rencana (smp/2 arah/jam untuk
jalan 2 lajur; smp/arah/jam untuk jalan berlajur banyak)
DTV : volume arus lalu lintas rencana (smp/2 arah/hari)
K : koefisien puncak (%)
Nilai K adalah perbandingan volume arus lalu lintas pada jam ke-
13 dibagi dengan AADT (LHR tahunan), namun bila data
tersebut di atas tidak tersedia, maka dapat dipergunakan nilai
koefisien 10%.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 43
D : koefisien arah (%)
Nilai D adalah koefisien arah hasil dari pengamatan lapangan,
bila data lapangan tidak tersedia maka dapat dipergunakan D =
60%.
c. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR) adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar
perencanaan geometrik jalan, yang memungkinkan kendaraan dapat
bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca cerah, lalu lintas
lengang dan pengaruh samping jalan tidak berarti.
Untuk perencanaan jalan antar kota, nilai VR ditetapkan dengan berdasar
pada klasifikasi (fungsi) dan medan jalan, sebagaimana disajikan pada tabel
3.5. Sedangkan untuk perencanaan jalan perkotaan, nilai VR ditetapkan
dengan berdasar tipe (fungsi) jalan & kelasnya, sebagaimana disajikan pada
tabel 3.6.
Tabel 3.5 Kecepatan Rencana (VR), Menurut Klasifikasi Fungsi dan Medan
Untuk Jalan Antar Kota
KECEPATAN RENCANA (VR - km/jam)
FUNGSI JALAN
DATAR BUKIT GUNUNG
Arteri 70 – 120 60 - 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 - 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 - 50 20 – 30
♦ Catatan: Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
♦Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
3.3. JARAK PANDANG
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi
pada saat mengemudi sedemikian rupa, sehingga jika pengemudi melihat
suatu halangan yang membahayakan, maka pengemudi dapat melakukan
sesuatu (antisipasi) untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 44
Tabel 3.6 Kecepatan Rencana (VR), Menurut Tipe dan Kelas Jalan
Jalan Perkotaan
TIPE JALAN KELAS KECEPATAN RENCANA
(VR - km/jam)
Tipe I 1 100; 80
2 80; 60*
1 60;
2 60; 50
3 40; 30
Tipe II
4 30; 20
Catatan: * Pada kondisi khusus
Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
a. Jarak Pandang Henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan pengemudi
untuk dapat menghentikan kendaraannya dengan aman setelah melihat
adanya halangan di depannya. Geometrik jalan yang baik adalah ruas jalan
dapat memberikan rasa aman bagi pengemudi kendaraan, oleh karena itu
‘setiap titik’ di sepanjang jalan harus memenuhi jarak pandang henti.
Jarak pandang henti terdiri dari dua elemen, yaitu :
♦ Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebebkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem.
♦ Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti diformulasikan dengan berdasar asumsi: tinggi mata
pengemudi 105 cm dan tinggi halangan 15 cm di atas permukaan jalan.
Adapun formulasi jarak pandang henti adalah:
h ht hr J = J + J
2 g.fp
2
3,6
V
T
3,6
V
J
R
R
h
⎟ ⎟⎠

⎜ ⎜⎝

= +
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 45
Untuk jalan datar:
p
2R
h R f
V
J = 0.694V + 0.004
Untuk jalan dengan kelandaian tertentu:
(f L)
V
J 0.694V 0.004
p
2R
h R ±
= +
Dimana:
Jh = jarak pandang henti, (m)
VR = kecepatan rencana, (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/detik2
fp = koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan
perkerasan jalan aspal, fp akan semakin kecil jika kecepatan (VR)
semakin tinggi dan sebaliknya. (menurut Bina Marga, fp = 0,35 –
0,55, namun sebaiknya nilai fp diambil berdasar gambar 3.1)
L = landai jalan dalam (%) dibagi 100
Nilai Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum juga dapat menggunakan hasil
hitungan sebagaimana tabel 3.7 untuk perencanaan jalan antar kota, dan
tabel 3.8 untuk perencanaan jalan perkotaan.
Tabel 3.7 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum Untuk Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota
VR (Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh Minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 46
Gambar 3.1 Diagram Koefisien Gesekan Memanjang Jalan (fp)
Sumber : Sukirman (1994)
Tabel 3.8 Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum Untuk
Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan (meter)
Kecepatan Rencana
(Km/jam)
Jarak Pandang Henti Minimum
(m)
100 165
80 110
60 75
50 55
40 40
30 30
20 20
Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 47
b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Pada jalan 2 lajur 2 arah tak terbagi (2/2 TB), kendaraan dengan kecepatan
tinggi sering mendahului kendaraan lain dengan kecepatan yang lebih
rendah sehingga pengemudi tetap dapat mempertahankan kecepatan sesuai
dengan yang diinginkannya. Gerakan mendahului dilakukan dengan
mengambil lajur jalan yang diperuntukkan untuk kendaraan dari arah yang
berlawanan. Jarak yang dibutuhkan pengemudi sehingga dapat melakukan
gerakan mendahului dengan aman dan dapat melihat kendaraan dari arah
depan dengan bebas dinamakan jarak pandangan mendahului.
Jarak pandang mendahului (Jd) standar dihitung berdasarkan panjang jalan
yang diperlukan untuk dapat melakukan gerakan mendahului suatu
kendaraan dengan sempurna dan aman berdasarkan asumsi yang diambil.
Apabila dalam suatu kesempatan dapat mendahului dua kendaraan
sekaligus, hal itu tidaklah merupakan dasar dari perencanaan suatu jarak
pandangan mendahului total.
Jarak pandangan mendahului (Jd) standar pada jalan dua lajur dua arah
dihitung berdasarkan beberapa asumsi terhadap sifat arus lalu lintas yaitu:
♦ Kendaraan yang akan didahului harus mempunyai kecepatan yang tetap
♦ Sebelum melakukan gerakan mendahului, kendaraan harus mengurangi
kecepatannya dan mengikuti kendaraan yang akan disiap dengan
kecepatan yang sama.
♦ Apabila kendaraan sudah berada pada lajur untuk mendahului, maka
pengemudi harus mempunyai waktu untuk menentukan apakah gerakan
mendahului dapat diteruskan atau tidak.
♦ Kecepatan kendaraan yang mendahului mempunyai perbedaan sekitar 15
km/jam dengan kecepatan kendaraan yang didahului pada waktu
melakukan gerakan mendahului.
♦ Pada saat kendaraan yang mendahului telah berada kembali pada lajur
jalannya, maka harus tersedia cukup jarak dengan kendaraan yang
bergerak dari arah yang berlawanan.
♦ Tinggi mata pengemudi diukur dari permukaan perkerasan menurut Bina
Marga (TPGJAK 1997) sama dengan tinggi objek yaitu 105 cm.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 48
♦ Kendaraan yang bergerak dari arah yang berlawanan mempunyai
kecepatan yang sama dengan kendaraan yang mendahului.
Ilustrasi gerakan mendahului pada jalan tak terbagi, dikemukakan pada
gambar 3.2.
Gambar 3.2 Diagram Pergerakan Kendaraan Untuk Mendahului
Adapun estimasi jarak pandangan mendahului diformulasikan dengan
persamaan sebagai berikut:
Jd = d1 + d2 + d3 + d4
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m)
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke
lajur semula (m)
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan
(m)
Adapun rumusan estimasi d1, d2, d3, dan d4 adalah sebagai berikut:
d1 = 0,278 T1 ⎟
⎟⎠

⎜ ⎜⎝

− +
2
a.T
V m 1
R
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 49
d2 = 0,278 VR T2
d3 = antara 30 – 100 m
d4 = 3
2 d2
dimana:
T1 = waktu dalam (detik), = 2,12 + 0,026 VR
T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), = 6,56 + 0,048 VR
a = percepatan rata-rata, (km/jam/detik), = 2,052 + 0,0036 VR
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang mendahului dan
kendaraan yang didahului, (biasanya diambil 10 – 15 km/jam)
Nilai jarak pandang mendahului untuk jalan antar kota menurut kecepatan
rencana yang dipilih, disajikan pada tabel 3.9. sedangkan untuk jalan
perkotaan disajikan pada tabel 3.10.
Tabel 3.9 Panjang Jarak Pandang Mendahului
VR (Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
Tabel 3.10 Jarak Pandang Mendahului Untuk Jalan Perkotaan
Kecepatan Rencana
(Km/jam)
Jarak Pandang
Mendahului standar
(m)
Jarak Pandang
Mendahului minimum
(m)
80 550 350
60 350 250
50 250 200
40 200 150
30 150 100
20 100 70
Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
c. Daerah Bebas Samping Di Tikungan
Daerah Bebas Samping Di Tikungan (E) adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang pengemudi kendaraan di tikungan, sehingga Jh dapat
terpenuhi, dan dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 50
pengemudi di tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang
sejauh E, yang diukur dari garis tengah lajur dalam sampai pada obyek
penghalang, sehingga persyaratan untuk Jh terpenuhi.
Ada dua bentuk Daerah Bebas Samping Di Tikungan, yaitu:
Jarak Pandang Henti (Jh) < Panjang Tikungan (Lt)
Jarak Pandang Henti (Jh) > Panjang Tikungan (Lt)
Adapun rumusan Daerah Bebas Samping Di Tikungan (E), adalah:
(Jh) < (Lt),
⎪⎭
⎪⎬ ⎫
⎪⎩
⎪⎨ ⎧
⎟ ⎟⎠

⎜ ⎜⎝
⎛ °
= −
πR
90 J
E R 1 cos h
(Jh) > (Lt), ( )
⎪⎭
⎪⎬ ⎫
⎪⎩
⎪⎨ ⎧
⎟ ⎟⎠

⎜ ⎜⎝
⎛ °
− + ⎟
⎟⎠

⎜ ⎜⎝
⎛ °
= −
πR
90 J
J L sin
2
1
πR
90 J
E R 1 cos h
h t
h
Adapun nilai E untuk kondisi tertentu, dapat diambil dari tabel 3.11 tabel
3.12 dan tabel 3.13.
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 51
Tabel 3.11 Nilai E untuk Jh < Lt (meter)
VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
Rc (m)
Jh = 16 27 40 55 75 120 175 250
5000 1.6
3000 2.6
2000 1.9 3.9
1500 2.6 5.2
1200 1.5 3.2 6.5
1000 1.8 3.8 7.8
800 2.2 4.8 9.7
600 3.0 6.4 13.0
500 3.6 7.6 15.5
400 1.8 4.5 9.5 Rmin =
500
300 2.3 6.0 Rmin =
350
250 1.5 2.8 7.2
200 1.9 3.5 Rmin =
210
175 2.2 4.0
150 2.5 4.7
130 1.5 2.9 5.4
120 1.7 3.1 5.8
110 1.8 3.4 Rmin =
115
100 2.0 3.8
90 2.2 4.2
80 2.5 4.7
70 1.5 2.8 Rmin =
80
60 1.8 3.3
50 2.3 3.9
40 3.0 Rmin = 50
30 Rmin = 30
20 1.6
15 2.1
Rmin = 15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 52
Tabel 3.12 Nilai E untuk Jh > Lt (meter), Dimana Jh - Lt = 25 meter
VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
Rc (m)
Jh = 16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1.6
5000 1.9
3000 1.6 3.1
2000 2.5 4.7
1500 1.5 3.3 6.2
1200 2.1 4.1 7.8
1000 2.5 4.9 9.4
800 1.5 3.2 6.1 11.7
600 2.0 4.2 8.2 15.6
500 2.3 5.1 9.8 18.6
400 1.8 2.9 6.4 12.2 Rmin =
500
300 1.5 2.4 3.9 8.5 Rmin =
350
250 1.8 2.9 4.7 10.1
200 2.2 3.6 5.8 Rmin =
210
175 1.5 2.6 4.1 6.7
150 1.7 3.0 4.8 7.8
130 2.0 3.5 5.5 8.9
120 2.2 3.7 6.0 9.7
110 2.4 4.1 6.5 Rmin =
115
100 2.6 4.5 7.2
90 1.5 2.9 5.0 7.9
80 1.6 3.2 5.6 8.9
70 1.9 3.7 6.4 Rmin =
80
60 2.2 4.3 7.4
50 2.6 5.1 8.8
40 3.3 6.4 Rmin = 50
30 4.4 8.4
20 6.4 Rmin = 30
15 8.4
Rmin = 15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
B. 53
Tabel 3.13 Nilai E untuk Jh > Lt (meter), Dimana Jh - Lt = 50 meter
VR = 20 30 40 50 60 80 100 120
Rc (m)
Jh = 16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1.8
5000 2.2
3000 2.0 3.6
2000 1.6 3.0 5.5
1500 2.2 4.0 7.3
1200 2.7 5.0 9.1
1000 1.6 3.3 6.0 10.9
800 2.1 4.1 7.5 13.6
600 1.8 2.7 5.5 10.0 18.1
500 2.1 3.3 6.6 12.0 21.7
400 1.7 2.7 4.1 8.2 15.0 Rmin =
500
300 2.3 3.5 5.5 10.9 Rmin =
350
250 1.7 2.8 4.3 6.5 13.1
200 2.1 3.5 5.3 8.2 Rmin =
210
175 2.4 4.0 6.1 9.3
150 1.5 2.9 4.7 7.1 10.8
130 1.8 3.3 5.4 8.1 12.5
120 1.9 3.6 5.8 8.8 13.5
110 2.1 3.9 6.3 9.6 Rmin =
115
100 2.3 4.3 7.0 10.5
90 2.6 4.7 7.7 11.7
80 2.9 5.3 8.7 13.1
70 3.3 6.1 9.9 Rmin =
80
60 3.9 7.1 11.5
50 4.6 8.5 13.7
40 5.8 10.5 Rmin = 50
30 7.6 13.9
20 11.3 Rmin = 30
15 14.8
Rmin = 15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997

HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.27


  • BAB II
    KOMPONEN
    PENAMPANG MELINTANG
    Memperhatikan penampang melintang jalan sebagaimana Bab I (gambar
    1.6 dan gambar 1.7), maka akan tampak bagian-bagian jalan yang lazim disebut
    sebagai komponen penampang melintang jalan. Definisi, fungsi dan ukuranukuran
    dari setiap komponen harus difahami sebagai dasar untuk merencanakan
    geometrik jalan.
    2.1. JALUR LALU LINTAS
    Jalur Lalu Lintas (Traveled Way) adalah bagian jalan yang dipergunakan untuk
    lalu lintas kendaraan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 Tahun
    1993), termasuk pada simpang, bukaan median, taper (jalur untuk tanjakan –
    percepatan – perlambatan – belok)
    Fisik berupa perkerasan, dibatasi oleh median, bahu, trotoar, pulau jalan atau
    separator.
    Beberapa tipe jalan, diantaranya:
    • 2/2 TB (2/2 UD) : 2 lajur, 2 jalur, tak terbagi
    • 2/1 TB (2/1 UD) : 2 lajur, 1 jalur, tak terbagi
    • 4/2 B (4/2 D) : 4 lajur, 2 jalur, terbagi
    • n/2 B (n/2 D) : n lajur, 2 jalur, terbagi
    Visualisasi tipe jalan dapat dilihat pada gambar 1.3, gambar 1.4 dan gambar 1.5.
    Adapun lebar jalur untuk jalan antara kota, yang ditentukan oleh jumlah dan lebar
    lajur sesuai dengan volume arus lalu lintas harian rencana (VLHR), dikemukakan
    tabel 2.1.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.28
    Tabel 2.1 Lebar Jalur Ideal & Minimum Untuk Jalan Antar Kota (meter)
    VLHR Arteri Kolektor Lokal
    (smp/jam) Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
    < 3000 6.0 4.5 6.0 4.5 6.0 4.5
    3000 -
    10000 7.0 6.0 7.0 6.0 7.0 6.0
    10001 -
    25000 7.0 7.0 7.0 ** - -
    > 25000 2n x 3.5* 2 x 7.0* 2n x 3.5* ** - -
    Keterangan, **) Mengacu pada persyaratan ideal
    *) 2 jalur terbagi, masing-masing n x 3.5 m, n: jumlah lajur perjalur.
    - Tidak ditentukan
    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
    Lebar jalur minimum untuk ruas jalan antar kota adalah 4.5 meter dan untuk ruas
    jalan perkotaan adalah 4,0 meter, yang maish memungkinkan 2 kendaraan kecil
    dapat saling berpapasan. Namun bila yang saling berpapasan dua kendaraan besar
    atau salah satunya kendaraan besar, maka dapat kendaraan-kendaraan tersebut
    dapat menggunakan bahu jalan.
    2.2. LAJUR
    Lajur (Lane) adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dengan atau tanpa
    marka jalan, yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang
    berjalan, selain sepeda motor (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43
    Tahun 1993).
    Lebar lajur tergantung dari kecepatan rencana dan kendaraan rencana, di samping
    fungsi dan kelas jalan, sebagaimana tabel 2.2.
    Tabel 2.2 Lebar Lajur Jalan Ideal Untuk Jalan Antar Kota
    Fungsi Jalan Kelas Jalan Lebar Lajur Ideal (m)
    Arteri
    I
    II, IIIA
    3.75
    3.50
    Kolektor IIIA, IIIB 3.00
    Lokal IIIC 3.00
    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.29
    Jumlah lajur ditetapkan berdasar tingkat kinerja ruas jalan (v-c ratio, MKJI 1994)
    Untuk kelancaran sistem drainase permukaan jalan, maka lajur lalu lintas pada
    alinyemen lurus harus diberi kemiringan melintang normal sebesar:
    • 2 – 3 % untuk jalan dengan perkerasan aspal atau beton.
    • 4 – 5 % untuk jalan dengan perkerasan kerikil.
    2.3. BAHU JALAN
    Bahu Jalan (Shoulder) adalah bagian jalan yang terletak di tepi jalur lalu lintas.
    Bentuk fisik bahu jalan diperkeras dan tidak diperkeras.
    Sedangkan fungsi bahu jalan, meliputi:
    • sebagai lajur lalu lintas darurat, tempat berhenti sementara dan atau untuk
    tempat parkir kendaraan.
    • sebagai ruang bebas samping bagi lalu lintas.
    • sebagai penyangga sampai untuk kestabilan perkerasan jalur lalu lintas.
    Untuk kelancaran sistem drainase, maka pada bahu jalan diberi kemiringan
    melintang normal sebesar 3 – 5 %. Adapun lebar bahu jalan ideal dan minimum
    dikemukakan pada tabel 2.3 untuk jalan antar kota dan tabel 2.4 & tabel 2.5 untuk
    jalan perkotaan.
    Tabel 2.3 Lebar Bahu Jalan Ideal & Minimum Untuk Jalan Antar Kota (meter)
    VLHR Arteri Kolektor Lokal
    (smp/jam) Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimum
    < 3000 1.5 1.0 1.5 1.0 1.0 1.0
    3000 –
    10000 2.0 1.5 1.5 1.5 1.5 1.0
    10001 –
    25000 2.0 2.0 2.0 ** - -
    > 25000 2.5 2.0 2.0 ** - -
    Keterangan, **) Mengacu pada persyaratan ideal
    - Tidak ditentukan
    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.30
    Tabel 2.4 Lebar Minimum Bahu kiri/luar Untuk Jalan Perkotaan
    Lebar bahu kiri/luar (m)
    Tidak Ada Trotoar
    Tipe Jalan Kelas
    Sta
    Minim
    Pengecualian
    Min
    Lebar
    yang
    diinginkan
    Ada
    Trotoar
    Tipe I 1 2.0 1.75 3.25
    2 2.0 1.75 2.50
    1 2.0 1.50 2.50 0.5
    2 2.0 1.50 2.50 0.5
    3 2.0 1.50 2.50 0.5
    Tipe II
    4 0.5 0.50 0.50 0.5
    Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
    Tabel 2.5 Lebar Minimum Bahu Sebelah Kanan/Dalam Jalan Perkotaan
    Tipe Jalan Kelas Lebar bahu Kanan/Dalam (m)
    Tipe I 1 1.00
    2 0.75
    1 0.50
    2 0.50
    3 0.50
    Tipe II
    4 0.50
    Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
    Bahu jalan tidak diperlukan bila jalur lalu lintas telah dilengkapi dengan median,
    jalur pemisah (separator) atau jalur parkir.
    2.4. MEDIAN
    Median adalah berupa ‘bangunan’ yang terletak di bagian tengah jalan. Median
    pada umumnya dipasang pada jalan tipe 2 jalur 4 lajur atau lebih. Fungsi dari
    pemasangan median, diantaranya adalah:
    • untuk memisahkan aliran lalu lintas yang berlawanan arah pergerakannya.
    • sebagai ruang tunggu (sementara) bagi penyeberang jalan.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.31
    • untuk penempatan fasilitas jalan
    • sebagai sarana penghijauan lingkungan
    • sebagai tempat prasarana kerja ‘jalan’ sementara
    • sebagai tempat berhenti darurat bagi kendaraan (bila cukup luas)
    • sebagai cadangan lajur untuk masa mendatang (bila cukup luas)
    • untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan yang bergerak dari arah
    yang berlawanan.
    Bentuk (fisik) median dibedakan menjadi dua yaitu direndahkan dari jalur lalu
    lintas dan ditinggikan dari jalur lalu lintas. Pada jalan bebas hambatan antar kota,
    pada umumnya menggunakan bentuk yang direndahkan. Sedangkan pada jalanjalan
    yang bukan jalan bebas hambatan, baik jalan antar kota maupun jalan
    perkotaan banyak menggunakan median yang ditinggikan.
    Pada bangunan median, antara lajur lalu lintas dengan bangunan median harus
    dilengkapi dengan jalur tepian berjarak : 0,25 – 0,50 meter. khusus untuk jalan
    perkotaan, disesuaikan dengan tipe jalan sebagaimana tabel 2.6 berikut ini.
    Tabel 2.6 Lebar Jalur Tepian Median Pada Jalan Perkotaan
    Tipe Jalan Kelas Lebar Jalur Tepian Median (m)
    Tipe I 1 0.75
    2 0.50
    1 0.25
    2 0.25
    Tipe II
    3 0.25
    Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
    Adapun ukuran-lebar median dikemukakan pada tabel 2.7 untuk jalan antar kota,
    sedangkan untuk jalan perkotaan dikemukakan pada tabel 2.8.
    Tabel 2.7 Lebar Minimum Median Untuk Jalan Antar Kota
    Bentuk Median Lebar Minimum (m)
    Median ditinggikan 2.0
    Median direndahkan 7.0
    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.32
    Tabel 2.8 Lebar Minimum Median Jalan Perkotaan
    Tipe Jalan Kelas Lebar Minimum
    Standar (m)
    Lebar Minimum
    Khusus (m)
    Tipe I 1 2.50 2.50
    2 2.00 2.00
    1 2.00 1.00
    2 2.00 1.00
    Tipe II
    3 1.50 1.00
    Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
    Bukaan median
    Pada jaringan jalan dua arah terbagi (devided), biasanya pada panjang atau jarak
    tertentu pada mediannya diberi bukaan, yang disebut sebagai bukaan median
    (median opening) yang difungsikan untuk melayani gerakan berputar balik bagi
    sebagian arus lalu lintas kendaraan dalam rangka perpindahan jalur atau arah
    untuk mencapai tujuan perjalanannya.
    Keberadaan bukaan median, dalam pelayanan terhadap arus lalu lintas yang
    berputar balik dibedakan menjadi dua, yaitu:
    (a) Bukaan pada median untuk pelayanan tunggal (median opening for single
    service u-turn), yaitu suatu bukaan yang terdapat pada median, yang
    peruntukkan arus lalu lintas berputar balik satu arah saja, sebagaimana
    ditunjukkan Gambar 2.1
    (b) Bukaan pada median untuk pelayanan ganda (median opening for double
    service u-turn), yaitu suatu bukaan yang terdapat pada median, yang
    peruntukkan arus lalu lintas berputar balik terdiri dua arah, baik yang
    dilengkapi dengan pulau jalan atau sejenis kereb pembatas maupun tidak,
    antara kedua jalur putar balik tersebut, sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.2
    dan Gambar 2.3.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.33
    Gambar 2.1 Fasilitas Putaran Balik Pelayanan Tunggal – Arus Putar Balik
    Tak Terlindung
    (Unprotected Flow on Single U-Turn)
    Gambar 2.2 Fasilitas Putaran Balik Pelayanan Ganda – Arus Putar Balik
    Tak Terlindung
    (Unprotected Flow on Double U-Turn)
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.34
    Gambar 2.3 Fasilitas Putaran Balik Pelayanan Ganda – Arus
    Putar Balik Terlindung
    (Protected Flow on Double U-Turn)
    2.5. TROTOAR
    Trotoar adalah bagian jalan, merupakan fasilitas yang disediakan bagi pejalan
    kaki, yang ditempatkan sejajar dengan jalur lalu lintas, dan terpisah dari jalur lalu
    lintas dengan pemasangan struktur fisik (berupa kereb).
    Fungsi trotoar adalah untuk memisahkan (pergerakan) pejalan kaki dari jalur lalu
    lintas kendaraan guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu
    lintas.
    Dimensi trotoar untuk jalan perkotaan, dijelaskan pada tabel 2.9.
    Trotoar tidak disediakan pada jalan tipe I kelas 1 (urban road), seperti jalan bebas
    hambatan (by pass).
    Tabel 2.9 Lebar Trotoar Untuk Jalan Perkotaan
    Tipe Jalan Kelas Standar Minimum (m) Lebar Minimum
    Pengecualian (m)
    1 3.0 1.5
    2 3.0 1.5
    Tipe II
    3 1.5 1.0
    Catatan : Lebar minimum digunakan hanya pada jembatan dengan bentang ≥ 50 m atau pada
    daerah terowongan dimana volume lalu lintas pejalan kaki : 300 – 500 orang/12 jam.
    Sumber : Standar Perencanaan Geometrik Untuk Jalan Perkotaan (1992)
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.35
    Trotoar perlu dibangun pada kawasan suburban, bila volume pejalan kaki 300
    orang/12 jam dengan volume kendaraan > 1000 kendaraan/12 jam.
    Trotoar diletakkan pada sisi kiri bahu jalan atau jalur lalu lintas atau jalur parkir.
    Apabila tipe saluran drainase terbuka, maka trotoar diletakkan pada bagian luar
    trotoar. Sedangkan bila tipe saluran tertutup, maka dapat sebagai bagian dari
    trotoar (saluran ditempatkan di bawah struktur trotoar).
    Perlengkapan jalan harus diletakkan pada bagian dalam trotoar.
    2.6. LAJUR PARKIR
    Lajur Parkir (Parking Lane) – dimanfaatkan juga sebagai jalur berhenti (Stopping
    Lane) adalah suatu ruang (space) khusus berupa lajur yang disediakan untuk
    kendaraan parkir dan atau berhenti, yang merupakan bagian dari badan jalan.
    Ukuran lebar standar 2.50 meter, sedangkan lebar minimum 2.00 meter (bila rasio
    jumlah kendaraan yang lewat relatif kecil).
    2.7. LAJUR SEPEDA - JALUR SEPEDA
    Lajur Sepeda (Bicycle Lane) adalah bagian dari bahu kiri jalan yang khusus
    diperuntukkan bagi pergerakan kendaraan jenis sepeda, yang ditandai/dibatasi
    dengan marka jalan.
    Jalur Sepeda (Bicycle Way) adalah bagian dari jalan khusus disediakan untuk
    sepeda dan becak, yang dibangun sejajar dengan jalur lalu lintas dan terpisah dari
    jalur lalu lintas oleh struktur fisik seperti kereb atau sejenisnya.
    Jalur sepeda diperlukan bila volume sepeda > 500 kendaraan/12 jam dengan
    volume arus lalu lintas (kendaraan bermotor-mobil) > 2000 kendaraan/12 jam.
    Lebar jalur minimum 2.00 meter dengan ruang bebas mendatar terhadap jalur lalu
    lintas 1.00 meter.
    Fasilitas pelengkap (utilitas) jalan umum diletakkan pada bagian dalam dari jalur
    sepeda, sedangkan fasilitas pelengkap (utilitas) jalur sepeda diletakkan pada
    bagian luarnya.
    Saluran air terbuka (untuk drainase jalan), ditempatkan di sebelah luar jalur
    sepeda, sedangkan saluran tertutup bisa digunakan sebagai bagian dari jalur
    sepeda (saluran ditutup dengan pelat beton).
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.36
    2.8. JALUR SAMPING
    Jalur Samping (Frontage Road) adalah bagian dari badan jalan yang dibangun
    sejajar pada sepanjang jalur lalu lintas menerus. Keberadaan jalur samping
    dimaksudkan sebagai akses pada lahan samping jalan atau akses jalan kolektor/
    lokal/lingkungan yang harus terpisah dengan jalur lalu lintas dan disediakan untuk
    mengamankan ruang bebas samping dari jalur lalu lintas.
    Ukuran lebar standar jalur samping adalah 4.00 meter dengan lebar bahu jalan
    (jalur samping) minimum 0.50 meter.
    2.9. SALURAN SAMPING
    Fungsi saluran samping adalah untuk mengalirkan air (hujan-utamanya) dari
    permukaan perkerasan jalan ataupun dari bahu jalan, dan juga untuk menjaga agar
    konstruksi (perkerasan) jalan selalu pada keadaan kondisi kering (tidak terendam
    air hujan)
    Bentuk saluran biasanya berupa saluran terbuka atau saluran yang ditutup dengan
    pelat beton yang ditempatkan di bawah trotoar. Adapun bentuk fisiknya, bisa bisa
    berupa trapesium atau empat persegi panjang. Sedangkan dimensi saluran,
    hendaknya diestimasikan dengan metode saluran ekonomis, yang didesain sesuai
    dengan debit air yang diperkirakan mengalir.
    Kelandaian memanjang saluran biasanya mengikuti/menyesuaikan kelandaian
    jalan; dan bila terlalu besar (terjal) bisa didesain dengan metode terasiring – boleh
    tidak mengikuti kelandaian jalannya.
    2.10. TALUD – KEMIRINGAN LERENG
    Talud – Kemiringan Lereng
    Konstruksi berupa : timbunan tanah (ditutupi rumput), tembok penahan tanah,
    bronjong, lereng bertingkat.
    Talud terbentuk dari tanah hendaknya dibuat dengan kemiringan 2H : 1V, tetapi
    untuk tanah berpotensi dan mudah longsor, sebaiknya disesuaikan dengan landai
    yang aman atau diestimasi menurut stabilitas lereng.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B.37
    2.11. KEREB
    Kereb adalah suatu struktur berupa penonjolan atau peninggian pada bagian tepi
    perkerasan atau jalur lalu lintas (termasuk jalur samping), yang difungsikan untuk
    keperluan drainase, mencegah kendaraan keluar dari perkerasan atau jalur lalu
    lintas dan mempertegas batas tepi perkerasan. Pada umumnya kerb digunakan
    pada jalan perkotaan, dimana pada ruas jalan tersebut dilengkapi dengan trotoar,
    sparator dan median. Bentuk fisik kerb dibuat sesuai dengan penempatannya.
    Kerb yang dipasang pada trotoar, biasanya berbentuk lengkung yang
    diperuntukkan bagi aliran air (hujan).
    2.12. PENGAMAN TEPI
    Pengaman tepi adalah suatu perlengkapan jalan yang difungsikan untuk ketegasan
    tepi badan jalan dan jika terjadi kecelakaan dapat mencegah kendaraan keluar dari
    badan jalan, terutama pada ruas jalan yang menyusuri jurang, tepi jalan dengan
    timbunan besar, tikungan tajam atau pada ruas jalan yang berpotensi untuk
    kecepatan tinggi.
    Jenis pengaman tepi diantaranya adalah:
    ♦ Guard rail : pengaman tepi terbuat dari besi yang di-galvanized.
    ♦ Parapet : pengaman tepi dari bahan beton.
    ♦ Pengaman tepi dari tanah timbunan, pasangan batu kali atau balok kayu.

HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

  •  B. 1
    BAB I
    PENDAHULUAN
    Jalan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun
    2004 adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,
    termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu
    lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
    permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
    jalan lori, dan jalan kabel.
    1.1. SEJARAH DAN FUNGSI JALAN
    a. Jejak
    Sejarah jalan pada hakekatnya dimulai bersama dengan sejarah manusia,
    pada saat mula pertama manusia ‘mendiami’ bumi. Usaha mereka yang
    paling utama adalah mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu
    berupa kebutuhan makan dan minum.
    Mereka (dan binatang) mencari tempat sumber-sumber makanan dan
    minuman yang rintangannya paling sedikit, sehingga didapat jejak-jejak
    saja, misal: jejak menuju danau atau sungai.
    b. Jalan Setapak dan Lorong Tikus
    Pada saat manusia sudah melakukan kehidupan secara berkelompok,
    mereka membutuhkan tempat berdiam (meski sementara). Mereka
    berpindah-pindah tempat secara musiman atau bila di tempat sekitarnya
    ketersediaan bahan kebutuhan makan sudah berkurang atau habis. Jejakjejak
    yang menghubungkan antara tempat berdiam (seperti: gua) dengan
    tempat atau sumber air misalnya, tampak berupa jejak jalan setapak atau di
    hutan sering disebut dengan istilah lorong-lorong tikus.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 2
    Jalan setapak ini merupakan jalan musiman, yaitu jalan yang dilewati hanya
    pada musim-musim tertentu sesuai dengan rotasi ekologi yang berkaitan
    dengan kebutuhan makan dan minum, seperti: musim mencari ikan, musim
    berburu, dan lain sebagainya.
    c. Jalan Sebagai Prasarana Sosial
    Pada saat kehidupan berkelompok manusia meningkat secara kuantitas, seiring
    dengan berkembangnya tingkat keberadaban manusia, maka terbentuklah
    suku-suku atau bangsa-bangsa. Mereka mulai menggunakan jalan secara
    ‘permanen’ untuk melakukan hubungan antar suku/bangsa, baik hubungan
    sosial maupun ekonomis, berupa barter barang-barang kebutuhan hidup.
    d. Jalan Sebagai Prasarana Sosial, Ekonomi, Politik, Militer dan Budaya
    Sejarah mencatat, bangsa Persia (± 6 abad SM) dan bangsa Romawi (± 4 abad
    SM) sudah menaruh perhatian yang besar kepada pembuatan jalan untuk
    mempertahankan persatuan bangsanya dan untuk keperluan gerakan
    tentaranya dalam rangka memperluas imperium (jalan berperan sebagai
    prasarana politik dan militer), selanjutnya dengan perluasan imperium terjadi
    suatu transformasi budaya terhadap bangsa-bangsa yang ditaklukan/dikuasai
    (jalan berperan sebagai prasarana transformasi budaya)
    Prestasi bangsa Persia dan Romawi dalam pembangunan jalan:
    􀀹 Semenjak abad ke-6 SM, bangsa Persia telah membuat jalan ± 1755 mil,
    yang melewati Asia kecil, Asia Barat Daya sampai Teluk Persia.
    􀀹 Antara abad ke 4 SM – abad ke 4 Masehi, bangsa bangsa Romawi telah
    membangun jalan ± 50.000 mil yang membentang mulai dari Italia –
    Perancis – Inggris – hingga bagian barat Asia kecil dan bagian utara
    Afrika
    Sukses bangsa Romawi dalam membangun jalan, disebabkan oleh 3 faktor:
    􀀹 Ahli-ahli negara Bangsa Romawi banyak yang memahami dan tahu arti
    pentingnya jalan sebagai prasarana perhubungan untuk mempertahankan
    negara dan memperluas imperium.
    􀀹 Bangsa Romawi lebih mengenal teknik pembangunan jalan, dibandingkan
    dengan bangsa lain pada zamannya, Mereka telah mengenal lapisan
    perkerasan, material (penyusun jalan) dan teknik survey.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 3
    􀀹 Bangsa Romawi memiliki armada tenaga kerja yang sangat besar, yaitu
    budak-budak dari bangsa jajahannya, disampng bala tentaranya bila tidak
    ada perang.
    e. Jalan Dalam Arti Strategi
    􀀹 Setelah kerajaan Romawi mulai runtuh pada pertengahan abad ke 4 M,
    maka jalan-jalan yang buatnya menjadi rusak, yang disebabkan kurangnya
    perhatian/pemeliharaan.
    Pada abad ke 5 M, orang Barbar merusak sama sekali jalan-jalan tersebut,
    mereka takut mendapat serangan kembali dari bangsa Romawi (yang
    dimungkinkan bangkit kembali) ataupun dari bangsa lain. Tindakan
    destruktif tersebut diikuti pula oleh bangsa-bangsa lain, sehingga sistem
    perangkutan darat (pada saat itu) sangat merosot, dimana gerobak-gerobak
    (pengangkut barang) hampir hilang, dan barang diangkut kembali dengan
    hewan (tanpa gerobak)
    􀀹 Pada abad ke 19 Deandles (Gubernur Belanda di Indonesia) membuat
    jalan membujur Pulau Jawa, yang meliputi: Merak – Jakarta – Bandung –
    Cirebon – Purwokerto – Yogyakarta – Solo – Surabaya sampai
    Banyuwangi (± 1500 Km), yang melewati kota-kota penting/pusat
    kerajaan ⇒ dalam rngka menguasai ekonomi, keadaan dan ‘menjinakkan’
    kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.
    􀀹 Bangsa Jerman dalam mempersiapkan Perang Dunia ke 2, membangun
    jalan raya dari Berlin menuju ke segala penjuru untuk mensukseskan blitzkriegnya.
    􀀹 Dalam perang kemerdekaan Republik Indonesia melawan Belanda yang
    unggul dalam persenjataan dan teknik militer, pejuang Indonesia melakukan
    tindakan yang penting dalam arti strategis militer dan ekonomi (⇒
    penghancuran jalan-jalan darat dan KA, penghancuran sumber produksi/
    pabrik, dll)
    Jalan bagi suatu bangsa: bahwa keadaan jalan & jaringannya, dapat dijadikan
    barometer tentang tingginya kebudayaan & kemajuan ekonomi suatu bangsa
    ⇒ pepatah : bagaimana jalannya demikian pula bangsanya.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 4
    1.2. PENGELOMPOKAN JALAN
    a. Lokasi
    Lokasi jalan yang akan dibangun menentukan bentuk disain konstruksi
    (geometrik), yang dipengaruhi oleh faktor-faktor utama seperti populasi dan
    tata guna lahan. Karakteristik lokasi yang sangat relevan adalah kawasan
    perkotaan (urban area) dan kawasan pedesaan – luar kota (rural area).
    a.1. Jalan perkotaan (Urban road)
    Jalan perkotaan dicirikan oleh:
    􀀹 konsentrasi populasi relatif tinggi
    􀀹 intensitas tata guna lahan relatif tinggi, dimana banyak lahan yang
    dipergunakan untuk perkantoran, pertokoan, pendidikan, permukiman,
    dan lain-lain.
    􀀹 berdasar konsentrasi populasi dan intensitas tata guna lahan, maka
    kebutuhan akses (perjalanan) tinggi, sehingga volume arus lalu lintas
    atau permintaan angkutan umum juga tinggi.
    􀀹 manual yang digunakan untuk disain konstruksi (geometrik) adalah
    Standar Perencanaan Geometrik Untuk Perkotaan, Maret 1992.
    a.2. Jalan antar kota/luar kota (Rural road)
    Jalan antar kota dicirikan oleh:
    􀀹 konsentrasi populasi relatif rendah
    􀀹 intensitas tata guna lahan yang relatif rendah, dimana sebagian besar
    lahan dipergunakan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, pertambangan,
    dan lain-lain.
    􀀹 berdasar konsentrasi populasi dan intensitas tata guna lahannya,
    maka kebutuhan akses (perjalanan) relatif rendah,
    􀀹 volume arus lalu lintas atau permintaan angkutan umum bergantung
    pada jarak antar kota yang dihubungkannya.
    􀀹 Manual yang dipergunakan untuk disain konstruksi (geometrik)
    adalah Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
    September 1997.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 5
    b. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Sistem
    b.1. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan
    peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan
    semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua
    simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan.
    b.2. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan
    dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
    masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
    c. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Fungsi
    c.1. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
    angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata
    tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
    c.2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
    angkutan pengumpul atau pembagi dengan cirri perjalanan jarak
    sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
    c.3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
    angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan
    rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
    c.4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
    angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan
    kecepatan rata-rata rendah.
    Adapun implementasi pengelompokan jalan menurut fungsinya dalam sistem
    jaringan jalan, dibedakan sebagai berikut:
    ♦ Sistem jaringan jalan primer, meliputi: Jaringan jalan arteri primer,
    jaringan jalan kolektor primer dan jaringan jalan lokal primer. Hirarkie
    sistem jaringan ini divisualisaikan pada gambar 1.1.
    ♦ Sistem jaringan jalan sekunder, meliputi: Jaringan jalan arteri sekunder,
    Jaringan jalan kolektor sekunder dan jaringan jalan lokal sekunder.
    Hirarkie sistem jaringan ini divisualisasikan pada gambar 1.2.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 6
    Gambar 1.1 Sistem Jaringan Jalan Primer
    Jalan Lokal
    Primer
    Jalan Kolektor
    Primer
    Jalan Arteri
    Primer
    Jalan Arteri
    Primer
    KOTA
    JENJANG III
    KOTA
    JENJANG I
    KOTA
    JENJANG I
    KOTA
    JENJANG II
    KOTA
    JENJANG III
    Jalan Arteri Primer
    Jalan Kolektor Primer
    PERSIL
    KOTA
    DI BAWAH
    JENJANG
    III
    Jalan Lokal Primer
    Jalan Lokal Primer
    Jalan Lokal Primer
    Jalan Lokal Primer
    Jalan Lokal Primer
    KOTA
    JENJANG II
    Jalan Kolektor Primer
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 7
    Gambar 1.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder
    Jalan Kolektor
    Sekunder
    Jalan Arteri
    Sekunder
    Jalan Lokal Sekunder
    Jalan Arteri Sekunder
    F 1
    KAWASAN
    PRIMER
    PERUMAHAN
    Jalan Lokal
    Sekunder
    Jalan Lokal Sekunder
    Jalan Arteri
    Sekunder
    F 21
    KAWASAN
    SEKUNDER
    I
    F 12
    KAWASAN
    SEKUNDER
    I
    Jalan Arteri
    Sekunder
    Jalan Arteri
    Sekunder
    F 22
    KAWASAN
    SEKUNDER
    II
    F 22
    KAWASAN
    SEKUNDER
    II
    Jalan Kolektor
    Sekunder
    F 23
    KAWASAN
    SEKUNDER
    III
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 8
    d. Pengelompokan Jalan Umum Menurut Status
    d.1. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam
    sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota
    provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
    d.2. Jalan provinsi merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan
    primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
    kabupaten/kota, atau antar ibukota kabupaten/kota, dan jalan
    strategis provinsi.
    d.3. Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan
    primer yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota
    kecamatan, antar ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan
    pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum
    dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan
    jalan strategis kabupaten.
    d.4. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder
    yang menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota,
    penghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
    antar persil, serta menghubungkan antar pusat permukiman yang
    berada di dalam kota.
    d.5. Jalan desa merupakan jalan umum yang penghubungkan kawasan
    dan/atau antar permukiman di dalam desa, serta jalan lingkungan.
    e. Pengaturan & Pengelompokan Jalan Umum Menurut Kelas
    Untuk pengaturan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas, jalan
    dibagi dalam beberapa kelas jalan. Pembagian kelas jalan diatur sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan
    angkutan jalan.
    Pengaturan kelas jalan (menurut UURI nomor 38 tahun 2004) berdasarkan
    spesifikasi penyediaan prasarana jalan dikelompokkan atas jalan bebas
    hambatan, jalan raya, jalan sedang, dan jalan kecil.
    e.1. Jalan bebas hambatan (freeway) adalah jalan umum untuk lalu lintas
    menerus yang memberikan pelayanan menerus/tidak terputus dengan
    pengendalian jalan masuk secara penuh, dan tanpa adanya persimHIBAH
    PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 9
    pangan sebidang, serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan,
    paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah dan dilengkapi dengan
    median;
    e.2. Jalan raya (highway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus
    dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi
    dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah;
    e.3. Jalan sedang (road) adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak
    sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling
    sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar paling sedikit 7
    (tujuh) meter;
    e.4. Jalan kecil (street) adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas
    setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar
    paling sedikit 5,5 (lima setengah) meter.
    Sedangkan pengelompokan kelas jalan menurut karakteristik kendaraan
    yang dilayani, berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993:
    ♦ Jalan kelas I, merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
    bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 500
    milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000 milimeter dan muatan
    sumbu terberat (MST) yang diizinkan lebih besar dari 10 ton.
    ♦ Jalan kelas II, merupakan jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan
    bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 500
    milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000 milimeter dan muatan
    sumbu terberat (MST) yang diizinkan 10 ton.
    ♦ Jalan kelas IIIA, merupakan jalan arteri atau kolektor yang dapat
    dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar
    tidak melebihi 2 500 milineter, ukuran panjang tidak melebihi 18 000
    milimeter dan muatan sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.
    ♦ Jalan kelas IIIB, merupakan jalan kolektor yang dapat dilalui
    kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak
    melebihi 2 500 milineter, ukuran panjang tidak melebihi 12 000
    milimeter dan muatan sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 10
    ♦ Jalan kelas IIIC, merupakan jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan
    bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2 100
    milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9 000 milimeter dan muatan
    sumbu terberat (MST) yang diizinkan 8 ton.
    f. Menurut Medan - Topografi
    Berdasarkan kondisi sebagian besar kelandaian – kemiringan medan yang
    diukur tegak lurus terhadap garis kontur, maka untuk perencanaan
    geometrik jalan medan diklasifikasikan sebagai berikut:
    f.1. Medan datar, kemiringan medan < 3 %
    f.2. Medan Perbukitan, kemiringan medan 3 – 25 %
    f.3. Medan Pegunungan, kemiringan medan > 25 %
    g. Tipe Jalan
    g.1. Jalan Tidak Terbagi (TB), yaitu ruas jalan yang pembatas jalurnya
    berupa marka jalan (terputus-putus atau menerus/solid).
    g.2. Jalan Terbagi (B), yaitu ruas jalan yang pembatas jalurnya berupa
    bangunan, yang disebut median, secara teknis berupa bangunan yang
    dilengkapi dengan taman atau sekedar pasangan kerb beton.
    Beberapa contoh tipe jalan yang dimaksud, divisualisasikan pada gambar
    1.3 untuk tipe jalan 2 jalur – 2 lajur tak terbagi, gambar 1.4 untuk tipe
    jalan 1 jalur – 2 lajur tak terbagi dan gambar 1.5 untuk tipe jalan 2 jalur –
    4 lajur terbagi.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 11
    Gambar 1.3 Jalan 2 jalur – 2 lajur – 2 arah (2/2 TB)
    Batas Tepi
    Marka
    Batas Tepi
    Lajur
    Lajur
    Jalur Lalu Lintas
    Potongan I - I
    I I
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 12
    Gambar 1.4 Jalan 1 jalur – 2 lajur – 1 arah (2/1 TB)
    Jalur Lalu Lintas
    Potongan I - I
    Batas Tepi
    Marka
    Batas Tepi
    Lajur
    Lajur
    I I
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 13
    h. Pengelompokan Jalan Berdasar Jenis Konstruksi
    Berdasarkan jenis konstruksi (termasuk jenis material penyusun), maka
    jalan dikelompokkan sebagai berikut:
    h.1. Jalan tanah, yaitu berupa jalan yang tidak menggunakan material
    tambahan yang lebih baik sebagai pengeras jalan. Jalan tanah pada
    umumnya berkembang secara alamiah, sesuai dengan dinamika
    masyarakat setempat.
    h.2. Jalan konstruksi perkerasan batu pecah, yaitu perkerasan jalan yang
    disusun dari batu pecah atau batu kali, dan di bagian atas ditutup
    Gambar 1.5 Jalan 2 jalur – 4 lajur Terbagi (2/4B)
    I I
    Jalur Lalu Lintas
    Potongan I - I
    Batas Tepi
    Batas Tepi
    Marka
    Lajur
    Lajur
    Median
    Marka
    Lajur
    Lajur
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 14
    dengan batuan yang berukuran lebih kecil (kerikil), sedangkan
    bagian permukaan ditutup (dihampar) dengan batuan yang lebih
    halus (pasir).
    h.3. Jalan konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu
    perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.
    Lapisan-lapisan perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan
    beban lalu lintas ke tanah dasar.
    h.4. Jalan konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan
    yang menggunakan bahan semen (portland cement) sebagai bahan
    pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas
    tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas
    sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
    h.5. Jalan konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu
    konstruksi jalan kombinasi antara perkerasan kaku dengan
    perkerasan lentur. Implementasi yang lazim dari jenis konstruksi ini
    adalah perkerasan lentur berada di atas perkerasan kaku.
    j. Bagian-Bagian Jalan
    Undang-Undang Republik Indonesia No. 34 Tahun 2004, menjelaskan
    bagian-bagian jalan sebagai berikut:
    j.1. Ruang Manfaat Jalan adalah suatu ruang yang dimanfaatkan untuk
    konstruksi jalan dan terdiri atas badan jalan, saluran tepi jalan, serta
    ambang pengamannya. Badan jalan meliputi jalur lalu lintas, dengan
    atau tanpa jalur pemisah dan bahu jalan, termasuk jalur pejalan kaki.
    Ambang pengaman jalan terletak di bagian paling luar, dari ruang
    manfaat jalan, dan dimaksudkan untuk mengamankan bangunan
    jalan.
    Kriteria teknis ruang manfaat jalan, diantaranya:
    ♦ Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua
    sisi jalan.
    ♦ Tinggi ruang bebas 5 meter di atas permukaan pada sumbu jalan.
    ♦ Kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 15
    j.2. Ruang Milik Jalan (right of way) meliputi ruang manfaat jalan dan
    sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan yang masih
    menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda batas
    ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
    keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan
    pelebaran ruang manfaat jalan pada masa yang akan datang.
    Lebar ruang milik jalan adalah sama dengan ruang manfaat jalan,
    ditambah dengan ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi
    5 meter dan kedalaman 1,5 meter.
    j.3. Ruang Pengawasan Jalan adalah ruang tertentu yang terletak di
    luar ruang milik jalan yang penggunaannya diawasi oleh
    penyelenggara jalan agar tidak mengganggu pandangan pengemudi,
    konstruksi bangunan jalan apabila ruang milik jalan tidak cukup luas,
    dan tidak mengganggu fungsi jalan. Terganggunya fungsi jalan
    disebabkan oleh pemanfaatan ruang pengawasan jalan yang tidak
    sesuai dengan peruntukannya.
    Lebar ruang pengawasan jalan diukur dari sumbu jalan, sebagai
    berikut :
    = jalan arteri, minimum 20 meter
    = jalan kolektor, minimum 15 meter
    = jalan lokal, minimum 10 meter
    Ruang pengawasan jalan sebagai fasilitas untuk keselamatan
    pemakai jalan, maka untuk di daerah tikungan ditentukan oleh jarak
    pandang bebas.
    Visualisasi dari bagian-bagian jalan tersebut, disajikan pada gambar 1.6
    dan gambar 1.7.
    k. Jenis / Bentuk Lain Jalan Raya
    1). Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan
    jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan
    membayar tol. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan
    untuk penggunaan jalan tol
    2). Overpass – Underpass
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 16
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 17
    1.3. TINGKAT PELAYANAN JALAN
    Berdasar Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2006, tingkat
    pelayanan pada ruas jalan diklasifikasikan atas:
    a. Tingkat pelayanan A, dengan kondisi:
    a.1. Arus bebas dengan volume lalu lintas rendah dan kecepatan tinggi;
    a.2. Kepadatan lalu lintas sangat rendah dengan kecepatan yang dapat dikendalikan
    oleh pengemudi berdasarkan batasan kecepatan maksimum/
    minimum dan kondisi fisik jalan;
    a.3. Pengemudi dapat mempertahankan kecepatan yang diinginkannya tanpa
    atau dengan sedikit tundaan.
    b. Tingkat pelayanan B, dengan kondisi:
    b.1. Arus stabil dengan volume lalu lintas sedang dan kecepatan mulai
    dibatasi oleh kondisi lalu lintas;
    b.2. Kepadatan lalu lintas rendah hambatan internal lalu lintas belum mempengaruhi
    kecepatan;
    b.3. Pengemudi masih punya cukup kebebasan untuk memilih kecepatannya
    dan lajur jalan yang digunakan.
    c. Tingkat pelayanan C, dengan kondisi:
    c.1. Arus stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan dikendalikan oleh
    volume lalu lintas yang lebih tinggi;
    CL
    1,50 3,50 1,00 7,00 2,00 7,00 1,00 3,50 1,50
    Jalur Samping Jalur Lalu Lintas Jalur Lalu Lintas Jalur Samping
    Trotoar Separator Median Separator Trotoar
    Gambar 1.7 Ruang Manfaat Jalan Dilengkapi Jalur Samping Dalam
    Penampang Melintang
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 18
    c.2. Kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas
    meningkat;
    c.3. Pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan, pindah lajur
    atau mendahului.
    d. Tingkat pelayanan D, dengan kondisi:
    d.1. Arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
    kecepatan masih ditolerir namun sangat terpengaruh oleh perubahan
    kondisi arus;
    d.2. Kepadatan lalu lintas sedang namun fluktuasi volume lalu lintas dan
    hambatan temporer dapat menyebabkan penurunan kecepatan yang
    besar;
    d.3. Pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam menjalankan
    kendaraan, kenyamanan rendah, tetapi kondisi ini masih dapat ditolerir
    untuk waktu yang singkat.
    e. Tingkat pelayanan E, dengan kondisi:
    e.1. Arus lebih rendah daripada tingkat pelayanan D dengan volume lalu
    lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah;
    e.2. Kepadatan lalu lintas tinggi karena hambatan internal lalu lintas tinggi;
    e.3. Pengemudi mulai merasakan kemacetan-kemacetan durasi pendek.
    f. Tingkat pelayanan F, dengan kondisi:
    f.1. Arus tertahan dan terjadi antrian kendaraan yang panjang;
    f.2. Kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume rendah serta terjadi
    kemacetan untuk durasi yang cukup lama;
    f.3. Dalam keadaan antrian, kecepatan maupun volume turun sampai 0.
    Adapun tingkat pelayanan yang diinginkan pada ruas jalan pada sistem jaringan
    jalan sesuai dengan fungsinya, dijelaskan sebagai berikut:
    • Sistem jaringan jalan primer
    􀀹 jalan arteri primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B;
    􀀹 jalan kolektor primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B;
    􀀹 jalan lokal primer, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;
    􀀹 jalan tol, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya B.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 19
    • Sistem jaringan jalan sekunder sesuai fungsinya untuk:
    􀀹 jalan arteri sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;
    􀀹 jalan kolektor sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya C;
    􀀹 jalan lokal sekunder, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D;
    􀀹 jalan lingkungan, tingkat pelayanan sekurang-kurangnya D.
    1.4. PROSEDUR PERENCANAAN JALAN RAYA
    a. Standar Perencanaan
    1) Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum
    2) American Association Of State Highway and Transportation Oficial
    (AASHTO)
    b. Disiplin Ilmu Terkait
    1) Geologi - Mekanika Tanah & Pondasi
    2) Hidrologi
    3) Hidrolika
    4) Geodesi
    5) Teknologi & Struktur Beton
    6) Struktur Baja
    7) Ekonomi Teknik
    c. Prosedur Perencanaan
    Untuk mendapatkan jalan raya yang ‘baik’ (biaya konstruksi murah,
    biaya pemeliharaan rendah, pelayanan optimum, nilai ekonomis bagi
    masyarakat maksimum), maka prosedur perencanaanya harus difahami
    dengan baik oleh perencana jalan. Ada beberapa konsep prosedur
    perencanaan jalan raya, 3 (tiga) diantaranya dikemukakan dalam buku
    ini, yaitu:
    1) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Secara Umum
    Prosedur perencanaan tipe ini bersifat sederhana dan global. Untuk
    mendapatkan suatu rencana jalan yang baik, maka prosedur ini dapat
    dijadikan referensi. Secara skematis, prosedur perencanaan jalan ini
    disajikan pada gambar 1.8.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 20
    􀀹 Reconnaissance, yaitu berupa kegiatan observasi/peninjauan awal
    lokasi dari jalan raya yang akan dibangun.
    􀀹 Preliminary, yaitu berupa persiapan atau studi pendahuluan
    berkaitan dengan rencana pembangunan jalan raya.
    􀀹 Feasibility, yaitu berupa studi kelayakan atas pembangunan jalan.
    􀀹 Design, yaitu perencanaa (teknis) jalan raya berupa model 2
    dimensi (gambar) atau model 3 dimensi (maket).
    􀀹 Construction, yaitu masa pelaksanaan pembangunan jalan raya
    dari rencana yang telah dibuat.
    2) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Berbasis Potensi Pergerakan
    Berorientasi bahwa pelayanan jaringan jalan sangat dipengaruhi oleh
    jumlah pergerakan (bangkitan pergerakan, sebaran pergerakan,
    pemilihan moda/jenis kendaraan) dan kuantitas & kualitas jaringan
    jalan (pembebanan rute). Kualitas pelayanan jaringan jalan yang baik
    Reconnaissance
    Preliminary
    Feasibility
    D e s i g n
    C o n s t r u c t i o n
    M o d e l Final Design
    Gambar 1.8 Diagram Alir Prosedur Perencanaan Jalan
    Raya Secara Umum
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 21
    (optimum) adalah apabila jumlah pergerakan relatif dapat dipenuhi
    secara proporsional oleh sistem jaringan jalan, sehingga pergerakan
    tidak banyak mengalami hambatan. Untuk mendapatkan ukuran jalan
    yang baik (menurut orientasi tersebut), maka dalam perencanaan
    jalan harus mengacu – berpedoman pada prosedur perencanaan jalan
    tipe ini. Secara skematis, prosedur tipe ini dijelaskan gambar 1.9.
    􀀦 Zoning adalah menentukan batas-batas wilayah dari satu ruang,
    yang dilakukan untuk mengetahui pola perjalanan dari setiap
    zona diantaranya dengan membuat kriteria homogenitas tata guna
    lahan (land-use), misal: tata guna lahan permukiman (high
    income, midlle income dan low income), tata guna lahan industri,
    tata guna lahan pertanian/ perkebunan, dan lain-lainnya.
    􀀦 Coding yaitu menetapkan dan menentukan kode-kode (biasanya
    dalam bentuk angka) yang dipergunakan untuk mempermudah
    analisa data, terutama analisa dengan menggunakan alat bantu
    perangkat lunak (computerized system), misal: kode zona-zona
    dalam wilayah studi, kode pergerakan kendaraan (lurus, belok
    kiri, belok kanan), kode arah pergerakan (masuk wilayah studi,
    keluar wilayah studi), dan lain sebagainya.
    􀀦 Inventory atau pengumpulan data, baik data primer maupun data
    sekunder. Data primer adalah data yang diambil sendiri oleh
    peneliti, baik dengan cara observasi lapangan/pengukuran
    langsung maupun dengan cara wawancara. Sedangkan data
    sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, baik berupa
    data mentah hasil pengukuran pihak lain maupun data matang
    yang telah disajikan dalam suatu laporan penelitian. Data yang
    dikumpulkan diupayakan selengkap mungkin, yang kiranya dapat
    merepresentasikan semua aspek kehidupan masyarakat yang
    berkaitan dengan kegiatan perjalanan. Dan pada saat merencanakan
    pengumpulan data, hendaknya diantisipasi kemungkinan
    terjadinya kekurangan data, baik dalam konteks ukuran sample
    maupun dalam konteks variabel/parameter yang relevan.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 22
    tidak
    1. CODING &
    ZONING 2. INVENTORY 3. FORCASTING I
    4. TRIP FORCASTING
    5. MASALAH THD
    STOP INFRASTRUKTUR
    8. MASALAH THD.
    SKENARIO
    ya
    tidak
    ya
    6. SKENARIO PEMECAHAN
    MASALAH
    7. FORCASTING II
    9. DETAIL PLAN
    Gambar 1.9 Diagram Alir Prosedur Perencanaan Jalan Raya
    Berbasis Potensi Pergerakan
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 23
    􀀦 Forecasting I/Peramalan I, adalah tahapan untuk meramalkan
    permasalahan yang dimungkinkan akan timbul terhadap kondisi
    eksisting. Pada peramalan ini, variabelnya dibuat sederhana/
    makro, diantaranya adalah: aspek tata guna lahan, aspek sosioekonomi
    dan aspek kebijakan & peraturan yang relevan.
    􀀦 Trip Forecasting/Peramalan jumlah perjalanan yang akan terjadi
    pada suatu wilayah studi dalam rentang waktu tertentu, sesuai
    dengan tujuan dan sasaran studi yang dikehendaki. Peramalan
    perjalanan ini meliputi ramalan jumlah perjalanan yang
    dihasilkan (bangkitan perjalanan), ramalan sebaran perjalanan
    (distribusi perjalanan), ramalan penggunaan/pemilihan moda
    untuk perjalanan dan ramalan rute-rute jaringan transportasi yang
    akan terbebani/pemilihan rute.
    􀀦 Masalah Terhadap Eksisting Infra Struktur, yaitu suatu penilaian
    kondisi eksisting infrastruktur sistem transportasi terhadap hasil
    peramalan jumlah perjalanan yang akan terjadi. Dimana kapasitas
    infrastruktur kondisi eksisting disimulasikan dengan jumlah
    perjalanan yang akan terjadi, sehingga akan dapat diketahui
    tingkat kinerja infrastruktur. Bila pada tahapan ini diketahui
    bahwa tingkat kinerja infrastruktur masih ‘bagus’ (infrastruktur
    kondisi eksisting tidak menimbulkan masalah) maka kegiatan
    perencanaan bisa dihentikan. Namun sebaliknya, apabila
    diketahui bahwa tingkat kinerja infrastruktur sudah ‘buruk’ maka
    kegiatan perencanaan dilanjutkan untuk mencari skenario
    pemecahannya.
    􀀦 Skenario Pemecahan Masalah, adalah berupa upaya
    pengembangan alernatif-alternatif yang mungkin dalam beberapa
    untuk dapat mengatasi permasalahan yang akan terjadi menurut
    hasil simulasi. Sehingga jumlah perjalanan yang terjadi dapat
    dilayani dengan baik dengan tanpa mengakibatkan penurunan
    tingkat kinerja infrastruktur. Dengan demikian skenario
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 24
    pemecahan masalah setidaknya dapat mencakup permasalahan
    seperti: infrastruktur, saran dan kebijakan.
    􀀦 Forecasting II/Peramalan II ini secara sederhana merupakan
    tindak lanjut dan gabungan dari peramalan I dengan peramalan
    perjalanan, yang akan digunakan sebagai bahan kajian
    perencanaan detail (detail plan).
    􀀦 Masalah Terhadap Skenario. Pada tahapan ini, dilakukan penilaian
    (bisa juga simulasi) secara lebih komprehensif dari hasil
    skenario pemecahan masalah yang merupakan alternatif terbaik/
    optimal dengan hasil peramalan II. Dengan demikian standar
    penilaian yang digunakan cukup lengkap, seperti: tingkat pelayanan/
    kinerja (level of service), biaya pengguna (user cost), nilai
    waktu (time value), tingkat keselamatan (safety), tingkat
    keamanan, konsentrasi polusi (pollution consentration), aspek
    ekonomi (economic evaluation), aspek finansial (financial
    evaluation).
    􀀦 Detail Plan adalah proses akhir dari prosedur perencanaan jalan
    berbasis potensi pergerakan, berupa hasil perencanaan (teknis)
    jalan, yang mencakup gambar-gambar geometrik jalan, rencana
    perkerasan, dan lain sebagainya.
    3) Prosedur Perencanaan Jalan Raya Berdasar Kajian Teknis
    Prosedur perencanaan jalan raya dengan kajian pendekatan teknis
    yang relevan, dikemukakan secara skematis sebagaimana pada
    gambar 1.10.
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 25
    HIBAH PENGAJARAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN B. 26
    1.5. RUANG LINGKUP PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
    Perencanaan Geometrik Jalan merupakan bagian dari perencanaan jalan,
    yang menitik beratkan pada perencanaan bentuk fisik jalan raya. Tujuan dari
    perencanaan geo,etrik jalan adalah untuk memenuhi fungsi dasar jalan, yaitu
    memberikan pelayanan kepada pergerakan arus lalu lintas (kendaraan)
    secara optimum.
    Sedangkan Sasaran perencanaan geometrik jalan adalah untuk menghasilkan
    design infrastruktur jalan raya yang aman, efisien dalam pelayanan arus lalu
    lintas dan memaksimumkan ratio tingkat penggunaan / biaya pelaksanaan.
    Dasar-dasar dalam perencanaan geometrik jalan diantaranya adalah sifat
    gerakan dan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan
    kendaraan, karakteristik arus lalu lintas.
    Elemen daalam perencanaan geometrik jalan, yaitu :
    • Penampang melintang, menjelaskan bagian-bagian dari (konstruksi) jalan
    • Alinyemen horisontal/tikungan (trase jalan), memperlihatkan kondisi jalan
    yang lurus, menikung ke kiri - menikung ke kanan; dimana sumbu jalan
    tampak berupa rangkaian garis lurus, atau lengkung berbentuk lingkaran
    dan lengkung peralihan dari bentuk lurus ke bentuk busur lingkaran, atau
    sebaliknya.
    • Alinyemen vertikal (penampang memanjang), memperlihatkan kondisi
    jalan yang datar (0 %), mendaki (+ g%) atau menurun (- g%); dimana
    kondisi ini berkait erat terhadap sifat operasi kendaraan, keamanan, jarak
    pandang dan fungsi jalan, selanjutnya aspek ini berkaitan pula terhadap
    terhadap estimasi volume galian dan timbunan yang harus dilakukan untuk
    mendapatkan jalan yang ‘baik’.